KPK Tahan Dua Tersangka Dugaan Korupsi “Shelter” Tsunami NTB

JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka terkait dugaan korupsi proyek pembangunan shelter tsunami di kawasan Pelabuhan Bangsal, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi pada 2014.
“Kedua tersangka atas nama AN dan AH dilakukan penahanan selama 20 (dua puluh) hari terhitung mulai tanggal 30 Desember 2024 sampai dengan tanggal 18 Januari 2025,” ungkap Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (30/12).
Kedua tersangka tersebut adalah Aprialely Nirmala (AN), Pejabat Pembuat Komitmen proyek pembangunan tempat evakuasi sementara/shelter tsunami Kabupaten Lombok Utara tahun 2014, dan Agus Herijanto (AH), pensiunan BUMN Karya yang bertindak sebagai Kepala Proyek.
Menurut Asep, kasus ini bermula pada 2012 ketika Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyusun rencana pengurangan risiko bencana tsunami, yang salah satunya melibatkan pembangunan shelter.
Dalam perencanaan, shelter tersebut dirancang untuk tahan terhadap gempa berkekuatan 9 Skala Richter (SR) dengan anggaran sebesar Rp23.268.000.784. Namun, tersangka AN sebagai PPK menurunkan spesifikasi tanpa kajian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa perubahan spesifikasi yang dilakukan AN adalah:
- Menghilangkan balok pengikat antarkolom pada elevasi 5 meter. Padahal, dalam dokumen perencanaan terdapat balok pengikat ke seluruh kolom dalam bangunan pada elevasi 5 meter, namun ternyata diubah hanya mengikat di sekeliling bangunan saja.
- Mengurangi jumlah tulangan dalam kolom, dari 48 dikurangi menjadi 40.
- Mengubah mutu beton dari dari perencanaan awal K-275 menjadi K-225.
Pada 29 Juli 2018, gempa bumi berkekuatan 6,4 SR mengguncang daerah tersebut, diikuti gempa 7,0 SR pada 5 Agustus 2018.
Pusat gempa berada di kedalaman 13 km, sekitar 47 km arah timur laut Kota Mataram, NTB. Shelter tersebut mengalami kerusakan berat dan tidak bisa digunakan sebagai tempat perlindungan.
Penilaian fisik oleh Tim Ahli Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan bahwa shelter tersebut gagal secara struktural sehingga tidak dapat dimanfaatkan.
Penyidik menemukan bukti cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi oleh AN dan AH, yang kemudian dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (YK/dbs).






